Sejarah Kaum Khawarij
Kaum Khawarij terdiri atas pengikut-pengikut ’Ali Ibn Talib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju dengan sikap ’Ali Ibn Talib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang Khilafah dengan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. N ama itu diberikan kepada mereka, karena mereka keluar dari barisan ’Ali. Tetapi ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100 dari Surat Al-Nisa’, yang dalamnya disebutkan: ”Ke luar dari rumah lan’ kepada Allah dan Rasul-Nya”. Dengan demikian kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan din’ kepada Allah dan Rasul-Nya.
Selanjutnya mereka menyebut din’ mereka Syurah, yang berasal dari kata Yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam ayat 207 dari Surat Al-Baqarah: ”Ada manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh keridlaan Allah”. Maksudnya, mereka adalah orang yang sedia mengorbankan diri untuk Allah. Nama lain yang diberikan kepada mereka ialah Haruriah, dari kata Harura,” satu desa yang terletak di dekat kota Kufah, di Irak. Di tempat inilah mereka, yang pada waktu itu berjumlah dua belas ribu orang, berkumpul setelah memisahkan diri dari ’Ali. Di sini mereka memilih ’Abdullah Ibn Abi Wahb Al-Rasidi menjadi Imam mereka sebagai ganti dari ’Ali Ibn Abi Talib. Dalam pertempuran dengan kekuatan ’Ali mereka mengalami kekalahan besar, tetapi akhimya seorang Khariji bernama ’Abd al-Rahman Ibn Muljam dapat membunuh ’Ali.
Sungguhpun telah mengalami kekalahan, kaum Khawarij me~ nyusun barisan kembali dan meneruskan perlawanan terhadap kekuatan Islam resmi baik di zaman Dinasti Bani Umaiyyah maupun di zaman Dinasti Bani Abbas. Pemegang-pemegang kekuasaan yang ada pada waktu itu mereka anggap telah menyeleweng dari Islam dan oleh karena itu mesti ditentang dan dijatuhkan.
Dalam lapangan ketatanegaraan mereka memang mempunyai paham yang berlawanan dengan paham yang ada di waktu itu. Mereka lebih bersifat demokratis, karena menurut mereka khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam. Yang berhak menjadi khalifah bukanlah anggota suku bangsa Quraisy saja, bahkan bukan hanya orang Arab, tetapi siapa saja yang sanggup asal orang Islam, sekalipun ia hamba sahaya yang berasal dari afrika. Khalifah yang terpilih akan terus memegang jabatannya selama ia bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam. Tetapi kalau ia menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, ia wajib dijatuhkan atau di bunuh.
Dalam hubungan ini, khalifah atau pemerintahan Abu Bakr dan ’Umar Ibn A1~Khattab secara keseluruhan dapat mereka terima. Bahwa kedua khalifah ini diangkat dan bahwa keduanya tidak menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, mereka akui. Tetapi ’Usman Ibn ’Affan mereka anggap telah menyeleweng mulai dari tahun ketujuh dari masa khalifahnya, dan ’Ali juga mereka pandang menyeleweng sesudah peristiwa arbitrase tersebut di atas.
Sejak waktu itulah ’Usman dan ’Ali bagi mereka telah menjadi kaflr; demikian pula halnya dengan Mu’awiyyah, ’Amr Ibn al-’As, Abu Musa al-Asy’ari serta semua orang yang mereka anggap telah melanggar ajaran-ajaran Islam.”
Di sini kaum Khawarij memasuki persoalan kufr: siapakah yang disebut kafir dan keluar dari Islam? Siapakah yang disebut Mukmin dan dengan demikian tidak keluar dari, tetapi tetap dalam, Islam? Persoalan-persoalan serupa ini bukan lagi merupakan persoalan politik, tetapi persoalan teologi. Pendapat tentang siapa yang se’ benamya masih Islam dan siapa yang telah keluar dari Islam dan menjadi kaf1r serta soal-soal yang bersangkut-paut dengan hal ini tidak selamanya sama, sehingga timbullah berbagai golongan dalam kalangan Khawarij.
Menurut al-Syahrastani, mereka terpecah menjadi delapan belas subsekte dan menurut al-Baghdadi dua puluh subsekte. Al-Asy’ari menyebut subsekte-subsekte yang jumlahnya lebih besar lagi.
Kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang serba tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain. Perubahan agama tidak membawa perubahan dalam sifat-sifat ke-Badawian mereka. Mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam, sebagai terdapat dalam a1Qur’an dan Hadis, mereka artikan menurut lafaznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolerir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walaupun hanya penyimpangan dalam bentuk kecil.
Di sinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus-menerus menga~ dakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam .dan umat Islam yang ada di zaman mereka.
Læs også :
- Cara Mandi Wajib sama Dengan Cara Mandi haid, nifas dan wiladah
- Larangan Riba dan Manfaat Menghindari Riba
- BAB Thoharoh (bersuci) dan Najis
- Tata Cara Wudhu dan Rukun Wudhu
- Bønnens søjler
The post Sejarah Kaum Khawarij appeared first on this page.