Teori Permintaan Dalam Islam dan Paradigma Konsumsi Islami
Teori Permintaan dalam Islam
Hal penting yang harus dicatat adalah bagaimana teori ekonomi yang dikembangkan Barat membatasi analisisnya dalam j angka pendek yakni hanya sejauh bagaimana manusia memenuhi keinginannya saja. Tidak ada analisis yang memasukkan nilai-nilai moral dan sosial. Analisis hanya dibatasi pada variabel-variabel pasar semata seperti harga, pendapatan dan sebagainya. Variabel-variabel lain tidak dimasukkan, seperti variabel nilai moral seperti kesederhanaan, keadilan, sikap mendahulukan orang lain, dan sebagainya. Di sini kita akan membahas bagaimana agama Islam mengatur tentang konsumsi dan bagaimana hal tersebut memengaruhi hukum permintaan yang telah kita pelajari di atas.
Dalam ekonomi Islam, setiap keputusan ekonomi seorang manusia tidak terlepas dari nilai-nilai moral dan agama karena setiap kegiatan senantiasa dihubungkan kepada syariat. AlQur’an menyebut ekonomi . dengan istilah iqtishéd (penghematan, ekonomi), yang secara literal; berarti ‘pertengahan’ atau ‘moderat’. Seorang muslim dilarang melakukan pemborosan (lihat al-Israa ayat 26-27). Seorang muslim diminta untuk mengambil sebuah sikap moderat dalam memperoleh dan menggunakan sumber daya. Dia tidak boleh isréf (royal, berlebih-lebihan), tetapi juga dilarang pelit (bukhl)
Paradigma Konsumsi lslami
Al-Qur’an dan Hadis mengajarkan, dalam kaitan dengan perilaku konsumen, onder andere:
a. Islam mengakui keterampilan dan kemampuan setiap individu berbeda-beda. Karenanya tidak adil dan tidak masuk akal apabila terjadi persamaan mutlak di antara semua anggota masyarakat dalam hal pendapatan, konsumsi dan sebagainya. Akan tetapi pada titik ekstrem yang lain, di mana ketimpangan bisa jadi sangat mencolok berdasarkan perbedaan kemampuan, kesempatan, dan kegigihan setiap orang pun tidak sesuai dengan semangat Islam, meski yang demikian itu dianggap yang paling adil dalam sudut pandang manusia yang terbatas. Justru Islam memandang perbedaan kemampuan dalam masyarakat sebagai suatu kerangka sosial untuk membangun suatu mekanisme internal yang saling menghargaj dan penuh kasih sayang. Diajarkan dalam Islam bahwa “tangan yang di atas lebih mulia daripada tangan yang dj bawah”, yakni pihak yang memberi pertolongan mendapat kedudukan lebih tinggi daripada pihak yang ditolong. Ajaran di atas dapat pula dimaknai bahwa orang yang hidupnya pas-pasan bisa saja berkedudukan mulia di dalam Islam apabila ia banyak menolong orang.
b. Islam mewajibkan zakat, yakni mengeluarkan sebagian kecil harta yang telah melewati batas nisab tertentu bajk dari segi jumlah maupun waktu penguasaan harta tersebut. Zakat adalah kewajiban bagi umat Islam yang mampu atau kaya. Jika berzakat wajib, maka menjadi mampu atau kaya pun wajib, agar dapat menjalankan kewajiban berzakat itu. Seperti hukum bersuci menjadi wajib karena bersuci menjadi syarat bagi ibadah shalat yang juga wajib hukumnya dan tidak dapat dilakukan tanpa syarat tersebut. Dus, jika kewajiban zakat tidak bisa dilaksanakan sebelum syarat mampu terpenuhi, maka syarat ‘mampu’ menjadi wajib hukumnya untulk dipenuhi.
Adapun aturan Islam mengenai bagaimana seharusnya melakukan kegiatan konsumsi adalah sebagai berikut:
a. Tidak Boleh Berlebih-lebihan
Allah SWT. berfirman dalam QS. al-An’aam ayat 141: “ dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai omng yang berlebih-lebihan”. Iika manusia dilarang untuk berlebihlebihan, itu berarti manusia sebaiknya melakukan konsumsi seperlunya saja. Pengamalan ayat di atas berarti juga sikap memerangi kemubaziran, sifat sok pamer, mengonsumsi barang-barang yang tidak perlu. Dalam bahasa ekonomi, perilaku konsumsi Islami yan g tidak berlebiha lebihan berarti bahwa pola permintaan Islami lebih didorong oleh faktor kebutuhan (needs) daripada keinginan (wants).
Kembali kepada contoh konsumsi minuman MQ Cola di atas, kalau kita memandang bahwa membeli minuman MQ Cola lebih dari 5 botol per pekan adalah sebuah kemewahan atau sudah termasuk berlebihlebihan, maka berapa pun harga MQ Cola, kita akan batasi pembelian kita sebanyak 5 botol per pekan. Santri 3 tidak akan mengonsumsi 12 botol per pekan walaupun harga MQ Cola hanya Rp 500,dan ia memiliki kemampuan untuk membeli sebanyak itu. Ia akan membatasi konsumsinya sebanyak 5 botol per pekan dalam rangka menghindari israf. Akibatnya, kurva permintaan mengalami pergeseran ke kiri, atau makin sedikit jumlah yang diminta dibandingkan tanpa adanya kesadaran untuk menghindari israf.
Kebutuhan pun tidak terbatas kepada kebutuhan pribadi atau keluarga semata-mata, tetapi juga kebutuhan sesama manusia yang dekat dengan kita. Bukankah nabi SAW pernah bersabda, ‘Tidak termasuk golonganku orang yang tidur nyenyak sedangkan ia mengetahui tetangganya dalam keadaan kelaparan?”
b. Mengkonsumsi yang Halal dan Thayyib
Konsumsi seorang muslim dibatasi kepada barang-barang yang halal dan thayyib (QS. al-Baqarah ayat 75). Tidak ada permintaan terhadap barang haram. Di samping itu di dalam Islam, barang yang sudah djnyatakan haram untuk dikonsumsi otomatis tidak lagi memilikj nilai ekonomi, karena tidak boleh diperjualbelikan. Berkaitan dengan aturan pertama tentang larangan berlebih-lebihan, maka barang halal pun tidak dapat dikonsumsi Sebanyak yang kita inginkan. Harus dibatasi sebatas cukupnya keperluan, demi menghindari kemewahan, berlebih~ lebihan dan kemubaziran.
Lees ook :
- Perbedaan Sistem Ekonomi Islam dan Konvesional
- Wie is geregtig om Zakat te ontvang
- Karakteristik Ekonomi Islam
- Prinsip Dasar Ekonomi Islam
- Islamitiese ekonomie te verstaan
- Gebed Nurbuat
The post Teori Permintaan Dalam Islam dan Paradigma Konsumsi Islami appeared first on this page.